Waktu itu aku membayangkan, pastilah banyak wanita yang mengidamkan dia di kelak hari. Ganteng, baik, halus, pintar, kaya dan calon dokter lagi, siapa sich yang tidak ingin memiliki kekasih seperti dia?
Dia adalah Bagus,teman sekelasku ketika SMA. Sejak kelas satu aku merasa dia sudah mulai mendekatiku, tetapi aku tak begitu meresponnya, karena teman sebangku ku secara terang-terangan telah mengibarkan bendera cinta untuknya. Dan betapa merasa beruntungnya aku, ketika dia mengaku padaku bahwa akulah satu-satunya teman perempuannya yang paling dekat dengannya,yang ia percaya dan ia sayangi. Aku sempat ke tersanjung, tapi sayangnya tak lama kemudian ia memperjelas kata-katanya dengan sebuah kesimpulan “sayang karena persahabatan.” Aku menduga ia mengatakan itu karena mungkin ia tahu,bahwa aku sudah jatuh hati pada Tito anak IPA1, sehingga ia menyimpulkan aku tak akan membalas perasaannya.
Musim perpisahan pun di mulai. Dia memilih Negeri Belanda untuk meneruskan studinya, dia benar-benar ambil jurusan Kedokteran seperti yang pernah ia cita-citakan.
Di tahun pertama perpisahan kami, aku dan Bagus masih sering ngobrol baik via chating maupun via telepon. Namun sayangnya, tak pernah ada kata-kata jadian diantara kami. Padahal aku berkali-kali memancingnya untuk mengatakan itu. “Ah, mungkin saja dia gengsi atau malu untuk menyatakan cintanya!” hiburku dalam hati. Bertahun – tahun ,Diam-diam aku menunggunya, menjadikan namanya sebagai pengisi hatiku, dan kuharap ia pun begitu. Seringkali aku kesal dan menanyakan apakah disana sudah ada perempuan yang membuatnya jatuh hati, Ia hanya tersenyum bahkan tertawa dan berkata bahwa tak ada perempuan lain selain aku yang bisa mengertinya. Walaupun mungkin itu hanya bualan belaka, namun mengapa firasatku mengatakan bahwa dia mengatakan hal yang sebenarnya, dan otak kananku ini mengajakku untuk berhalusinasi, bahwa suatu hari nanti ia pulang dan kami akan bersama.
“Nea, kamu sudah punya pacar ya?” Akhirnya pertanyaan itu terlontar dari mulutnya. Aku membalas chat messengernya dengan senyuman.
“Dermaga itu sudah terlihat,dan aku yakinkan untuk bersandar disana bukan didermaga yang lain. Kusiapkan untuk menghempaskan jangkar, sambutlah dengan senyum hangat dan pelukanmu.”
“so sweet honey..! kamu layak kog jadi penulis!”.
“Aku masih nungguin kamu, kapan pulangnya?”
“Wah,gak usah ditungguin! Ulang tahunmu Minggu depan aku kasih kado tiket buat liburan ke Holand ya? Aku punya suatu kejutan disini buat kamu!”
**
Sore itu aku tiba di Amsterdam, tak sabar aku melihat kejutan yang disiapkan oleh Bagus. Ia datang menjemputku, dan membawaku jalan-jalan sebentar di ibu kota Negeri Kincir Angin ini.
“Kalo asli gini keliatan ndut ya, gag kaya kalau pake Webcam” Ucapku menggodanya.
“Tapi kamu suka kan penampilanku?” Jawabnya sambil mencubitku kecil.
Jam Tujuh malam kami baru sampai di apartemen milik Bagus.
“Apa kejutan buat aku?” Tanyaku penasaran.
“Ntar kamu juga tahu” Ucapnya sambil membuka pintu Apartemennya.
Aku benar-benar terkejut dengan apa yang kulihat, aku membungkam mulutku rapat-rapat sambil tak percaya apa yang aku lihat.
“How do you do Babe” Tito menghampiriku dan mencoba memelukku.
Aku membalas pelukannya dengan perasaan berdebar. Jantungku berdegub tak karuan.
“Kenapa kamu gak pernah ceritain ini ke aku?” Aku tak bisa lagi menahan air mataku. Aku menangis dipelukan Tito, ada rasa rindu yang mendalam padanya, namun aku sangat kecewa pada kejutan yang tak pernah kuduga ini. Penampilannya kini berubah, tak segagah Tito yang pernah ku kenal dulu. Bagus tak pernah menceritakan ini sebelumnya, ternya Tito juga melanjutkan studinya di Belanda. Padahal kabar terakhir yang kudengar tentangnya, ia diterima disebuah Universitas terkenal di USA.
Bagus dan Tito saling pandang lalu mereka memandangiku dengan tatapan yang bingung, seolah-olah mereka tak tahu bagaimana perasaanku saat ini.
Aku mencoba menenangkan diri dan menghindarkan penglihatanku dari foto-foto mesra mereka yang terpampang di dinding apartemen. Ada satu foto yang memaksa mataku untuk memperhatikannya lekat-lekat. “Ini gak mungkin,mereka bisa-bisanya menikah?” Hatiku menangis perih.
“Ya Tuhan, mengapa aku jatuh cinta pada lelaki seperti ini?”
Beberapa waktu kemudian, pandanganku gelap. Aku tak sadarkan diri.
Komentar
Posting Komentar